Kamis, 25 Juli 2019

Kesederhanaan Haji Agus Salim, Menlu RI di Kabinet Hatta I

ilustrasi
MEDIA ISLAM -- Ketika salah satu anaknya wafat, Haji Agus Salim tak punya uang untuk membeli kain kafan. Salim membungkus jenazah anaknya dengan taplak meja dan kelambu. Ia menolak pemberian kain kafan baru.

Menemukan sosok macam Haji Agus Salim di zaman milenial atau Generasi Z serupa mencari jarum dalam tumpukan jerami. Berbeda dengan tokoh kebanyakan, “Untuk pejabat seperti ini kita patut menangis dan terus merasa kehilangan,” kata seorang facebooker yang hidup di zaman milenial.

Sekelumit gambaran kehidupan Menteri Luar Negeri RI Haji Agus Salim pun muncul ke permukaan. Dia adalah sosok yang pantas dirindukan selagi telinga lebih akrab mendengar kabar nama-nama tokoh yang disebut menelan uang korupsi.

Melangkah berkelok dari jalan utama, menyelusup gang-gang padat rumah di Jatinegara, di dalam gang sempit terdapat sebuah rumah mungil dengan satu ruang besar. Begitu pintu dibuka, terlihat koper-koper berkumpul di sudut rumah dan kasur-kasur digulung di sudut lainnya. Di sanalah tempat tidur Haji Agus Salim bersama istri dan anak-anaknya.

Dikontrakan yang lain, Haji Agus Salim, kira-kira enam bulan sekali mengubah letak meja kursi, lemari sampai tempat tidur rumahnya. Kadang-kadang kamar makan ditukarnya dengan kamar tidur.

Haji Agus Salim berpendapat, dengan berbuat demikian ia merasa mengubah lingkungan, yang manusia sewaktu-waktu perlukan tanpa pindah tempat atau rumah atau pergi istirahat di lain kota atau negeri.

Begitulah Mr Roem, murid dari Haji Agus Salim yang juga tokoh Masyumi, berkisah tentang kehidupan sang guru.

Anies Baswedan dalam “Agus Salim: Kesederhanaan, Keteladanan yang Menggerakkan” menyebutkan, Haji Agus Salim hidup sebagai menteri dengan pola ‘nomaden’ atau pindah kontrakan ke kontrakan lainnya. Dari satu gang ke gang lain.

Berkali-kali Haji Agus Salim pindah rumah bersama keluarganya. “Selama hidupnya dia selalu melarat dan miskin,” kata Profesor Willem “Wim” Schermerhon.

Wim sebagaimana ditulis Majalah Tempo dalam “Edisi Khusus Agus Salim” menjadi Ketua Delegasi Belanda dalam perundingan Linggarjati.

Dalam “Het dagboek van Schermerhon” dia mengungkapkan, “Pernah, pada salah satu kontrakan tersebut, toiletnya rusak. Setiap Agus Salim menyiram WC, air dari dalam meluap. Sang istri pun menangis sejadi-jadinya, karena baunya yang meluber dan air yang meleber.”

Zainatun Nahar istri Haji Agus Salim, tak kuat lagi menahan jijik sehingga ia muntah-muntah. Agus Salim akhirnya melarang istrinya membuang kakus di WC dan ia sendiri yang membuang kotoran istrinya menggunakan pispot.

Memimpin Itu Menderita

Kasman Singodimedjo, dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah dan Masyumi Ketua KNIP Pertama, dalam “Hidup Itu Berjuang” mengutip perkataan mentornya yang paling terkenal, yakni “Leiden is lijden,” kata Agus Salim. Terjemahan bebasnya berarti “memimpin itu menderita”.

Dan begitulah Agus Salim. Lihatlah bagaimana tak ada sumpah serapah yang terlontar meminta kenaikan jabatan, tunjangan rumah dinas, tunjangan kendaraan, tunjangan kebersihan WC, tunjangan dinas ke luar negeri untuk pelesiran, dan lainnya.

Bahkan saat salah satu anak Agus Salim wafat, ia tak punya uang untuk membeli kain kafan. Salim membungkus jenazah anaknya dengan taplak meja dan kelambu. Ia menolak pemberian kain kafan baru.

“Orang yang masih hidup lebih berhak memakai kain baru,” kata Agus Salim. “Untuk yang mati, cukuplah kain itu.”

Kustiniyati Mochtar dalam buku “Seratus Tahun Agus Salim” menulis, “Tak jarang mereka kekurangan uang belanja.”

Agus Salim memang berbeda dengan tokoh nasionalis lainnya. Dia adalah seorang diplomat ulung, menteri, dan pendiri bangsa yang mewakafkan dirinya untuk mengabdi kepada Allah, bahwa memimpin itu adalah ibadah.

Kesederhanaan luar biasa Haji Agus Salim terlihat ketika ia rela berjualan minyak tanah sekadar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sekalipun saat itu sudah pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dan menjadi perwakilan tetap Indonesia di PBB, tanpa rasa malu dia menjualnya dengan cara mengecer.

Bahkan, saat ada acara di Yoigyakarta, Agus Salim terpaksa membawa minyak tanah dan menjualnya di sana.

“Hasil penjualan minyak tanah itu,” kata Mr Roem, “Dipergunakan untuk menutupi ongkos perjalanan Jakarta-Yogyakarta.”

Haji Agus Salim adalah seorang tokoh yang memilih jalan becek dan sunyi. Ia lebih suka berjalan kaki dengan tongkatnya ketimbang mengejar gemerlap karpet merah dan mobil Land Cruiser, Alphard, dan gemerlap jantung kota.

Adakah tokoh semacam Haji Agus Salim yang lahir menjadi contoh di zaman milenial? Pertanyaan ini cukup dijawab di dalam hati.

Siapa pun rindu sosok seperti Haji Agus Salim. Bukan rindu tentang melaratnya, tapi tentang ruang kesederhanaan yang mengisi kekosongan nurani rakyat.

Haji Agus Salim lahir dengan nama Mashudul Haq, yang artinya adalah “pembela kebenaran”. Ia lahir tanggal 8 Oktober 1884 pada zaman Hindia Belanda di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat, dan wafat di Jakarta, 4 November 1954 dalam usia 70 tahun.

Haji Agus Salim adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 27 Desember 1961 melalui Keppres Nomor 657 Tahun 1961. (Selanjutnya)

Agus Salim

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar