Minggu, 23 Mei 2021

Muhammad Ali Taher, Raja Media Palestina yang Tidak Basa-Basi Bantu Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

Story: Muhammad Ali Taher, Raja Media Palestina yang Tidak Basa-Basi Bantu Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

Muhammad Ali Taher mengeluarkan semua uangnya yang disimpan di bank kemudian memberikannya demi perjuangan Indonesia.

“Terimalah semua kekayaan saya ini untuk memenangkan perjuangan Indonesia!” kata Muhammad Ali Taher seraya menyerahkan uangnya tanpa meminta tanda bukti penerimaan. 

Sabtu, 22-05-2021
TSM-Nama Mohamed Ali Eltaher, atau lindah orang Indonesia terbiasa menyebut Muhammad Ali Taher, mungkin tidak familiar, bahkan terdengar asing. Padahal, raja media dari Palestina punya peran yang tidak kecil dan ngak pernah basa-basi dalam membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Muhammad Ali Taher lahir 1896 di Nablus, kota di Tepi Barat (West Bank) bagian utara, sekitar 49 kilometer utara Yerusalem, Palestina. Nablus, pada 72 M oleh kaisar Romawi Vespasianus dikenal dengan Flavia Neapolis, merupakan pusat perdagangan dan budaya Palestina.

Ayah Muhammad Ali Taher bernama Aref Eltaher dan ibunya Badieh Kurdieh. Muhammad Ali Taher merupakan salah satu dari tujuh bersaudara tiga perempuan dan empat laki-laki. Keluarganya berasal dari marga Jaradat, yang tersebar di seluruh Palestina bagian utara. Termasuk keturunan Juhayna, salah satu marga terkenal di Arab Saudi. 

Muhammad Ali Taher pindah ke Mesir pada Maret 1912, pertama kali tiba di Port Said sebelum menetap di Kairo. Memulai karier sebagai jurnalis di surat kabar Fata Al Arab yang berbasis di Beirut. Dia pernah menulis artikel yang memperingatkan niat gerakan Zionis untuk membangun negara Yahudi di Palestina.

Muhammad Ali Taher kemudian menerbitkan surat kabar miliknya sendiri dan semasa hidupnya punya tiga surat kabar, yaitu Ashoura, Al-Shabab, dan Al-Alam Al-Masri. Surat kabar Ashoura (Oktober 1924 - Agustus 1931) merupakan media utama milik Muhammad Ali Taher. (p. 60, @eltaher.org)

Sedangkan Al-Shabab terbit mulai Agustus 1931 sampai Januari 1937, menggantikan Ashoura yang dibekukan pemerintah Mesir. Adapun Al-Alam Al-Masri umurnya lebih pendek, April 1939 sampai Agustus 1939, karena pecah perang dunia kedua.

Pada 1953 Pemerintah Mesir di bawah kepemimpinan Jenderal Mohamed Naguib memberikan izin Ashoura untuk terbit kembali. Namun, Menteri Dalam Negeri sekaligus Wakil Perdana Menteri Mesir Kolonel Gamal Abdel Nasser tetap melarang penerbitan Ashoura. Sejak itu Muhammad Ali Taher tak punya media lagi.

Sebelum menerbitkan surat kabar Ashoura, Muhammad Ali Taher membangun Kantor Informasi Arab Palestina dan Komite Palestina pada 1921 di Kairo, Mesir. Kantornya yang terletak di Jalan Abdelaziz 30, Ataba El-Khadra Square di pusat Kota Kairo, diberi nama Dar Ashoura. Kemudian pindah ke Gedung Manousakis di Jalan Ratu Nazli 119 yang lebih dikenal dengan Jalan Ramses. (p.6, @eltaher.org)

Setelah surat kabar Ashoura terbit pada 1924, kantor Dar Ashoura menjadi tujuan bagi mereka (tokoh) yang melarikan diri dari negerinya karena di bawah pendudukan kolonial atau diperintah rezim otoriter. Para politisi dan pencari suaka dari berbagai negara bisa datang dan biasa bertemu di “Dar Ashoura” tanpa harus membuat janji sebelumnya. Mereka semua tahu bahwa pintu kantor redaksi Ashoura buka selama 19 jam setiap hari, mulai pukul 7 pagi sampai 9 malam. (p. 14, @eltaher.org)

Dari laman eltaher.org disebutkan banyak tokoh Indonesia yang pernah berkunjung ke Dar Ashoura. Di antaranya Mohamed Rashidi dan Zein Hassan Lc Lt, ketika datang ke Mesir untuk mencari dukungan kemerdekaan Indonesia pada 1944. Setelah Indonesia merdeka, keduanya menjabat sebagai duta besar Indonesia untuk Mesir.

Ada juga Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, ketika berkunjung ke Mesir mereka dijamu di Dar Ashoura oleh Muhammad Ali Taher. Bahkan ada kisah unik diungkap eltaher.org, jauh sebelum Indonesia merdeka, ada seorang pemuda bernama Abdul Kahar Muzzakir ditulis Abdulqahhar Muzzakar- datang ke Mesir untuk melanjutkan sekolah.

Ketika pemuda itu menghadapi kesulitan karena sedang berkecamuk perang, Muhammad Ali Taher yang menjaganya. Termasuk ketika menghadapi kendala dalam kuliah, Muhammad Ali Taher tak sungkan membantu dengan menemui Menteri Pendidikan di sana. Sampai akhirnya pemuda itu lulus kuliah dan kembali ke tanah air. (p. 15, @eltaher.org)

Bahkan Abdul Kahar Muzakkir ikut dalam General Islamic Conference di Yerusalem membahas perkembangan situasi di Palestina pada akhir Desember 1931 sampai awal Januari 1932. Ada sekitar 20 delegasi dari negara lain dan ketika itu Abdul Kahar Muzakkir disebutkan sebagai delegasi dari Indonesia.

“Pada permulaan tigapuluhan lahir di Mesir organisasi yang semata-mata guna kegiatan politik dengan nama ‘Perhimpunan Indonesia Raya’ di bawah pimpinan (Prof) Abdul Kahar Muzakkir. Sebenarnya nama ‘Indonesia’ telah mulai dikenal di Timur Tengah pada pertengah tahun duapuluhan,” (hal. 26, Diplomasi Revolusi di Luar Negeri karya M Zein Hassan Lc Lt)

Nama Muhammad Ali Taher menggema kembali bersama Mufti Palestina Syekh Muhammad Amin Al-Husaini, seiring meningkatkan kekerasan tentara zionis yahudi terhadap penduduk Palestina di Gaza dan Masjidil Aqsa pada Ramadhan 2021. Muhammad Ali Taher disebut sebagai saudagar kaya Palestina yang menyerahkan semua uangnya yang disimpan di bank Arabia untuk membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Soal bantuan uang dari Muhammad Ali Taher, disampaikan M Zein Hassan Lc Lt dalam buku Diplomasi Revolusi di Luar Negeri (Perjoangan Pemuda/Mahasiswa Indonesia di Timur Tengah) penerbit Bulan Bintang pada 1980. Ketika itu, M Zein Hassan Lc Lt, yang diamanahi sebagai ketua Panitia Pusat Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia dan berperan layaknya duta besar, menceritakan bantuan yang diberikan Muhammad Ali Taher dipicu dari aksi tentara Belanda melancarkan agresi militer kedua pada 19 Desember 1948.

Serangan yang dipimpin Jenderal Simon Hendrik Spoor dalam Operatie Kraai (Operasi Gagak) mengakibatkan Ibu Kota Yogyakarta jatuh ke tangan tentara Belanda. Bahkan para pemimpin Republik Indonesia, mulai dari Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, hingga Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim ditangkap kemudian diasingkan.

Namun, pada 1 Maret 1949, Tentara Nasional Indonesia kembali berhasil menguasai Ibu Kota Yogyakarta selama 6 jam. Fakta ini membuktikan bahwa Indonesia memiliki kekuatan untuk melakukan perlawanan dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Ditambah meninggalnya Jenderal Spoor secara mendadak pada 25 Mei 1949, yang diisukan “bunuh diri” semakin membuat tekad bangsa Indonesia membaja untuk mempertahankan kemerdekaan.

Melihat kegigihan perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan, Muhammad Ali Taher tergerak untuk membantu. M Zein Hassan Lc Lt menuturkan, Muhammad Ali Taher, pemimpin Palestina yang mencintai Indonesia sejak lama itu, tanpa basa-basi menarik dirinya ke Bank Arabia dan mengeluarkan semua uangnya yang disimpan kemudian memberikan kepadanya.

“Terimalah semua kekayaan saya ini untuk memenangkan perjuangan Indonesia!” kata Muhammad Ali Taher seraya menyerahkan uangnya tanpa meminta tanda bukti penerimaan. (hal. 247, Diplomasi Revolusi di Luar Negeri karya M Zein Hassan Lc Lt).

Pada 16 Oktober 1945, Muhammad Ali Taher sebagai Ketua Panitia Palestina, bergabung dalam Panitia Komite Pembela Indonesia (Lajnatud Difa’i-an Indonesia) bersama sejumlah pemimpin negara Arab yang dipimpin Jenderal Saleh Harb Pasya (mantan Menteri Pertahanan Mesir). Dalam pertemuan di Gedung Pusat Perhimpunan Pemuda Islam (Jami’ah Syubhan Muslimin), Panitia Komite Pembela Indonesia menyerukan, menyokong perjuangan Bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan dan menuntut terutama negara-negara Arab dan Islam supaya mengakui Republik Indonesia. (hal. 64, Diplomasi Revolusi di Luar Negeri karya M Zein Hassan Lc Lt).

Bahkan setelah Indonesia merdeka, dukungan Muhammad Ali Taher tak pernah surut. Ketika Delegasi Republik Indonesia pada 9 Juni 1947 atau satu hari sebelum penandatanganan Perjanjian Persahabatan, Hubungan Diplomatik dan Perdagangan Mesir-Indonesia, mengadakan resepsi di Semiramis Hotel, salah satu hotel kelas satu di tepi sungai Nil, dia ikut hadir.

Pada resepsi itu diputar Film Proklamasi yang telah diubah berbahasa Arab, sehingga memberikan pengertian kepada para pemimpin Arab tentang kenyataan hidup di Indonesia, sejak masa perjuangan hingga merdeka.

Muhammad Ali Taher mengatakan kepada hadirin sekelilingnya: “Sungguh-sungguh kita telah menyaksikan kelahiran satu bangsa.” (hal 211, Diplomasi Revolusi di Luar Negeri karya M Zein Hassan Lc Lt).

Presiden Republik Indonesia pertama Sukarno, menurut eltaher.org, pada 1965 berencana mengadakan upacara khusus untuk menghormati dan memberi penghargaan kepada Muhamad Ali Taher atas jasanya terhadap gerakan pembebasan nasional melawan kolonial Belanda di Indonesia. Namun, rencana yang akan digelar di Jakarta itu tak pernah terlaksana karena Presiden Sukarno keburu lengser dari jabatannya. (p. 28, @eltaher.org) (Wasis Wibowo)

Posting: Sustiana Herru 
Sumber: sindonews.com
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar