Minggu, 13 April 2025

Riwayat Minangkabau di Tanah Batak dan Kedaulatan Aceh

SILINDUNG – Di balik lanskap perbukitan yang mengelilingi Danau Toba, tersembunyi warisan sejarah panjang tentang asal-usul masyarakat Batak, relasi budaya dengan Minangkabau, hingga jejak kedaulatan Kesultanan Aceh yang terlupakan. Narasi ini bukan hanya cerita rakyat semata, tapi juga tercermin dalam arsip sejarah, termasuk dalam sebuah peta kuno yang kini tersimpan di Turki.

Penduduk awal di kawasan Danau Toba memilih menetap di bagian timur danau karena kondisi alamnya yang mendukung. Ketika populasi meningkat, ekspansi terjadi ke Silindung, lalu menyebar ke utara Dairi dan selatan Angkola. Dalam perkembangan selanjutnya, pengaruh budaya Minangkabau mulai terasa seiring migrasi dan interaksi yang makin intens.

Legenda menyebutkan bahwa Sultan Minangkabau, keturunan Iskandar Agung, mengelilingi Pulau Sumatera dan menunjuk para pemimpin lokal termasuk di Tanah Batak. Sebuah petunjuk sakral berupa tanda hitam di bawah lidah konon diberikan sebagai penanda kepemimpinan sah. Hingga kini, kisah ini masih hidup dalam tradisi lisan masyarakat Batak.

Namun sejarah menunjukkan bahwa pengaruh eksternal atas wilayah Batak tidak hanya datang dari Minangkabau. Dalam sebuah peta kuno buatan tahun 1850 yang kini tersimpan di sebuah museum di Turki, tercatat bahwa wilayah selatan Danau Toba disebut secara jelas sebagai "Batak" dan menjadi bagian dari wilayah Kesultanan Aceh. Peta ini dikirim oleh pihak Aceh kepada Sultan Turki Utsmani sebagai bentuk laporan atas kondisi wilayah Islam di Nusantara.

Peta tersebut menggambarkan hubungan erat antara kerajaan-kerajaan Melayu dan Kekhilafahan Utsmani. Di sana, Pulau Sumatera digambarkan melintang lurus dengan banyak wilayah disebut sebagai ‘Bandar’, termasuk Bandar Asahan dan Bandar Palembang. Dalam peta itu, wilayah Batak bukan hanya disebut, tapi juga diposisikan secara strategis dalam konteks kekuasaan Islam regional.


Fakta ini memperkuat pandangan bahwa sebelum kolonialisme Belanda menancapkan kuku kekuasaannya, tanah Batak merupakan bagian dari kedaulatan sah Kesultanan Aceh. Wilayah itu diakui secara politik dan budaya sebagai bagian dari negeri Islam yang memiliki hubungan diplomatik dengan kekuasaan besar dunia Islam, yakni Turki Utsmani.

Dalam konteks ini, narasi Batak bukan hanya soal budaya dan mitos, tapi juga terkait sejarah geopolitik. Sanusi Pane, dalam pidatonya tahun 1926, menggambarkan bagaimana pemuda Batak mulai menyadari identitas politik mereka. Melalui Jong Bataks Bond (JBB), mereka memproklamasikan diri sebagai entitas yang berdiri sejajar dengan suku lain dalam pergerakan nasional.

Pane menyampaikan bahwa jiwa muda Batak dan Mandailing saat itu adalah ladang subur yang menunggu untuk ditanami benih-benih nasionalisme. Ia mengajak generasi muda menjadi penjaga gerbang tanah air, karena rakyat telah mulai menaruh harapan pada mereka. Ia menekankan bahwa kebudayaan Batak bukan tidak ada, melainkan sedang tertidur, menunggu untuk dibangkitkan.

Kesadaran ini merupakan bagian dari pergerakan yang lebih besar, saat bangsa Indonesia mulai menggugat kekuasaan kolonial dan membangun nasionalisme dari akar budaya. Para pemuda Batak menyadari bahwa mereka memiliki warisan sejarah dan kedaulatan yang sah, baik melalui narasi rakyat maupun catatan historis seperti peta Kesultanan Aceh tadi.

Munculnya JBB menjadi simbol pemisahan identitas dari dominasi Jong Sumatranen Bond yang banyak diisi pemuda Minangkabau. Hal ini memperlihatkan bagaimana dinamika antar-etnis di Nusantara tidak selalu harmonis, namun melalui dialog dan kesadaran bersama akhirnya ikut memperkuat fondasi nasionalisme Indonesia.

Dengan demikian, sejarah Batak bukanlah cerita pinggiran. Ia berdiri kokoh sebagai simpul penting dalam jalinan sejarah Nusantara, memiliki hubungan kuat dengan Aceh sebagai pusat Islam di barat Indonesia dan dengan Minangkabau sebagai pengusung sistem sosial dan budaya yang dinamis.


Kisah tentang Sultan Minangkabau dan tanda lidah hanyalah satu dari sekian banyak narasi yang membentuk identitas Batak. Tapi kini kita tahu bahwa dalam arsip resmi kerajaan Islam, wilayah Batak diakui sebagai bagian integral dari tatanan politik regional yang diakui dunia Islam.

Keberadaan nama “Batak” dalam peta resmi Kesultanan Aceh menunjukkan bahwa wilayah ini tidak pernah benar-benar kosong atau terisolasi, tetapi aktif dalam jaringan kekuasaan Islam, diplomasi, dan kebudayaan di masa lalu. Ini memberi legitimasi sejarah yang lebih kuat pada klaim identitas masyarakat Batak masa kini.

Saat kita berbicara tentang sejarah Indonesia, penting untuk melihat bagaimana identitas lokal seperti Batak, Aceh, dan Minang saling bertemu, bertukar, dan sesekali bersilang jalan. Di situlah letak kekuatan Indonesia sebagai bangsa—dibentuk oleh sejarah yang kaya, berlapis, dan saling terhubung.

Kini, saat sejarah mulai dibaca ulang dan dikontekstualisasikan kembali, fakta-fakta seperti peta dari Aceh untuk Turki ini menjadi pengingat bahwa wilayah Batak adalah bagian dari jejak besar Nusantara yang dulu pernah terkoneksi dengan dunia Islam global.

Dari legenda Sultan, suara Sanusi Pane, hingga arsip peta Kesultanan Aceh, narasi Batak bukan hanya tentang sebuah suku, tapi tentang bagaimana satu wilayah kecil di pegunungan bisa menjadi simpul penting dalam sejarah besar bangsa. Identitas Batak adalah warisan sejarah, budaya, dan politik yang layak diangkat dan dihargai.

Share:

Related Posts:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar