Pertemuan trilateral pertama antara Tiongkok, Pakistan, dan Bangladesh di Kunming pada 19 Juni 2025 menandai babak baru dalam peta geopolitik Asia Selatan. Di tengah ketegangan kawasan akibat konflik Timur Tengah, krisis Myanmar, dan memanasnya hubungan India-Bangladesh, ketiga negara itu sepakat mempererat hubungan strategis lintas bidang. Meski diklaim hanya untuk kerja sama ekonomi dan budaya, forum ini menyimpan pesan politik yang tak bisa diabaikan.
Tiongkok sejak lama membangun kemitraan strategis dengan Pakistan, dan kini memperluas pengaruhnya ke Dhaka melalui proyek Belt and Road Initiative (BRI) dan dukungan militer. Bagi Beijing, mengikat Pakistan di barat dan Bangladesh di timur India memberikan posisi tawar lebih kuat dalam menghadapi rivalitas dengan New Delhi. Hubungan trilateral ini sejatinya melanjutkan pola poros lama era 1960-an saat Pakistan Timur (sekarang Bangladesh) masih bagian dari Pakistan.
Pakistan memanfaatkan forum ini untuk mengonsolidasikan posisi strategisnya di kawasan. Isolasi politik dan konflik internal membuat Islamabad membutuhkan poros baru guna menyeimbangkan dominasi India dan memperkuat posisinya di kancah internasional. Pakistan berharap, dengan Bangladesh ikut dalam lingkaran ini, potensi tekanan India terhadap Kashmir dan Balochistan bisa lebih ditekan melalui jalur diplomasi regional.
Namun, sikap Bangladesh tidak sepenuhnya selaras. Meski hadir dan sepakat meningkatkan hubungan, Dhaka menolak bergabung dalam kelompok kerja trilateral yang diusulkan Beijing dan Islamabad. Bangladesh tetap bertahan pada prinsip non-blok, di tengah keretakan hubungannya dengan India pasca-pergantian pemerintahan pada 2024. Negara itu masih mempertahankan peluang dialog dengan New Delhi demi kestabilan politik dan ekonomi domestiknya.
Isu Rohingya menjadi salah satu titik sensitif dalam percaturan ini. Bangladesh yang menampung lebih dari satu juta pengungsi Rohingya di Cox’s Bazar, tak bisa lepas dari konflik Myanmar. Tiongkok dan Pakistan selama ini cenderung berpihak ke junta militer Myanmar demi kepentingan strategis di Rakhine dan proyek pelabuhan Kyaukphyu. Posisi ini membuat nasib Rohingya kian terpinggirkan dari agenda diplomasi kawasan.
Ketika pertemuan trilateral berlangsung, isu Rohingya sama sekali tak dibahas. Padahal, krisis kemanusiaan ini terus membebani Bangladesh, sementara Tiongkok justru memperkuat hubungan ekonominya dengan Naypyidaw. Pakistan pun lebih fokus pada urusan Kashmir dan ketegangan dengan India, tanpa memperhatikan penderitaan Rohingya. Situasi ini menunjukkan prioritas geopolitik kawasan lebih berpihak pada kekuatan negara daripada isu kemanusiaan.
Dampak jangka panjang dari terbentuknya poros ini berpotensi mengubah peta strategis Asia Selatan. Tiongkok makin memperkuat posisinya dengan memiliki sekutu di kedua sisi India. Poros ini bisa menjadi alat tekanan baru terhadap New Delhi, terutama terkait isu Laut Andaman dan Selat Malaka yang vital bagi India. Keterlibatan Bangladesh meski masih terbatas, sudah cukup membuat India waspada.
Amerika Serikat, sebagai sekutu utama India dalam Quad, memandang aliansi ini sebagai ancaman terhadap keseimbangan kawasan Indo-Pasifik. Washington kemungkinan akan meningkatkan pendekatan diplomatik dan militer ke India dan kawasan timur laut India, termasuk mempererat kerjasama keamanan di Laut Andaman untuk meredam pengaruh Tiongkok.
Tiongkok diuntungkan ganda dengan terbentuknya forum ini. Selain memperluas pengaruh BRI, Beijing bisa menekan India melalui dua arah sekaligus. Di barat, Pakistan terus menjaga ketegangan di Kashmir, sedangkan di timur, Bangladesh menjadi pintu masuk pengaruh baru Tiongkok ke Teluk Benggala. Meski Dhaka belum sepenuhnya bergabung, posisi geografisnya tetap strategis.
Bagi Pakistan, kemitraan ini membuka peluang kerja sama militer, ekonomi, dan diplomasi yang lebih luas. Islamabad juga berharap bisa kembali memainkan peran di Asia Tenggara melalui pintu Myanmar dan Bangladesh, terutama dalam konteks hubungan dengan dunia Islam di kawasan itu. Meski demikian, risiko keterlibatan di isu Rohingya bisa menjadi batu sandungan jika komunitas internasional menekan soal HAM.
Bangladesh harus menghadapi dilema politik yang pelik. Di satu sisi, krisis domestik dan memburuknya hubungan dengan India membuatnya butuh sekutu baru. Di sisi lain, ketergantungan ekonomi pada AS, India, dan Tiongkok memaksa Dhaka bermain hati-hati. Keputusan untuk menolak kelompok kerja trilateral menjadi langkah kompromi agar tidak sepenuhnya berpihak.
Isu Rohingya tetap menjadi kartu tawar dalam diplomasi regional. Bangladesh berharap dukungan internasional untuk pemulangan pengungsi ke Myanmar, namun posisi Tiongkok yang mendukung junta menjadi kendala utama. Tanpa desakan dari Beijing, tekanan terhadap Naypyidaw hampir mustahil dilakukan. Posisi Pakistan pun tidak diharapkan berpihak karena kedekatannya dengan Myanmar.
India melihat forum ini sebagai upaya mengepungnya secara geopolitik. Meski Bangladesh belum sepenuhnya bergabung, India tetap meningkatkan kesiagaan di perbatasan Assam dan Tripura. Ketegangan media, pengusiran migran, dan skirmish di perbatasan menjadi konsekuensi langsung dari ketegangan ini.
Gejolak regional akan semakin terasa jika Bangladesh ke depan terpaksa memilih poros aliansi akibat tekanan geopolitik. Dengan pemilu dijadwalkan 2026, pemerintah sementara Bangladesh enggan melakukan manuver politik besar. Namun jika hubungan dengan India tak membaik, opsi bergabung ke lingkaran Tiongkok-Pakistan bisa kembali muncul.
Poros ini secara tidak langsung juga berdampak pada upaya penyelesaian konflik di Myanmar. Dengan Bangladesh terseret dalam poros yang lebih berpihak ke junta, nasib Rohingya akan makin terabaikan. Proses repatriasi dan perlindungan hak-hak pengungsi berisiko terhenti karena tekanan politik kawasan yang lebih memprioritaskan kepentingan strategis.
Dalam jangka panjang, poros Tiongkok-Pakistan-Bangladesh berpotensi menggeser keseimbangan geopolitik Asia Selatan dan Tenggara. Kawasan yang selama ini didominasi pengaruh India dan sekutunya mulai digerogoti oleh kemitraan baru yang lebih oportunis. Isu Rohingya hanyalah salah satu dari sekian banyak persoalan kemanusiaan yang bisa terpinggirkan di tengah permainan kekuatan besar ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar