Kamis, 18 Desember 2025

Misteri Stabilitas Global di Balik Narasi Perang AS dkk di Timur Tengah


Analisis mendalam mengenai dinamika geopolitik Timur Tengah baru-baru ini mengungkap sebuah tabir gelap di balik strategi keamanan global yang dipelopori oleh negara-negara Barat selama beberapa dekade terakhir. 

Peneliti senior Timur Tengah, Hassan Abu Haniyeh, memberikan perspektif yang mengejutkan mengenai bagaimana istilah terorisme telah digunakan sebagai alat politik untuk mengubah peta kekuatan dunia secara sistematis. 

Dalam sebuah diskusi panjang Podcast Youtube, terungkap bahwa kampanye anti-terorisme yang dimulai sejak awal abad ke-21 bukan sekadar upaya penegakan hukum internasional, melainkan sebuah strategi besar untuk melemahkan negara-negara yang dianggap sebagai ancaman bagi hegemoni ekonomi Barat.

Narasi besar yang dibangun oleh kekuatan global ini ternyata memiliki dampak yang sangat berbeda bagi setiap negara, terutama dalam memberikan ruang bagi kebangkitan Rusia dan Tiongkok di panggung dunia. Abu Haniyeh menegaskan bahwa tanpa adanya narasi perang melawan terorisme, Vladimir Putin mungkin tidak akan memiliki landasan kuat untuk mengonsolidasikan kekuasaan di Rusia yang sempat goyah pasca-runtuhnya Uni Soviet. 

Rusia dengan cerdik memanfaatkan definisi terorisme yang sangat cair untuk membingkai tindakan militernya di Chechnya, Ukraina dan belakangan Suriah dan negara-negara Afrika sebagai bagian dari kontribusi keamanan global. 

Hal ini menunjukkan bahwa kampanye yang awalnya dirancang untuk kepentingan Barat justru menjadi batu loncatan yang memperkuat posisi geopolitik Rusia dan Tiongkok.

Pelemahan sistematis terhadap negara-negara seperti Irak, Suriah, Libya, dan Iran melalui strategi "Clean Break" diyakini sebagai upaya sadar untuk menghancurkan kedaulatan bangsa Arab dan kekuatan ekonomi Timur Tengah.

Jika negara-negara tersebut tidak dijadikan target intervensi, besar kemungkinan mereka akan tumbuh menjadi kekuatan ekonomi yang mandiri berkat cadangan energi minyak yang sangat melimpah. 

Kestabilan di wilayah tersebut dipastikan akan melahirkan kemandirian strategis yang dapat menantang dominasi dolar Amerika Serikat dalam perdagangan komoditas global. 

Oleh karena itu, penargetan terhadap negara-negara kuat di Timur Tengah dianggap sebagai langkah preventif Barat untuk menjaga agar kendali ekonomi tetap berada di tangan mereka.

Kaitan antara stabilitas regional dan kemerdekaan Palestina juga menjadi sorotan tajam dalam analisis yang dipaparkan dalam berbagai diskusi kebijakan internasional. 

Seandainya kekuatan militer dan ekonomi Irak serta Suriah tetap utuh tanpa gangguan intervensi asing, dukungan terhadap perjuangan Palestina diprediksi akan jauh lebih solid dan terorganisir.

Kekosongan kekuasaan yang tercipta akibat jatuhnya pemerintahan lama dirancang untuk melahirkan kekacauan internal yang mengalihkan fokus negara-negara Arab dari isu Palestina ke isu pertahanan diri masing-masing. 

Kondisi ini secara tidak langsung memberikan keuntungan strategis jangka panjang bagi pihak-pihak yang ingin mempertahankan status quo di wilayah pendudukan tersebut.

Ke depan, tantangan bagi tatanan global adalah bagaimana menghadapi kebangkitan kekuatan-kekuatan baru yang lahir dari sisa-sisa kehancuran perang masa lalu seperti menguatnya posisi Rusia dan Tiongkok.

Jika narasi keamanan terus digunakan sebagai kedok untuk kepentingan ekonomi sempit, maka ketegangan antara blok Barat dan kekuatan baru di Timur akan semakin meruncing. Analisis dari Hassan Abu Haniyeh ini menjadi pengingat penting bahwa sejarah politik dunia tidak pernah berjalan secara kebetulan, melainkan penuh dengan rancangan strategis yang rumit. 

Memahami akar dari setiap intervensi militer adalah kunci untuk membaca arah masa depan Timur Tengah yang kini sedang mencari jati dirinya kembali di tengah puing-puing sejarah yang panjang.


Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar