Ketika ditanya pernah mondok di pesantren mana, Saya sering kebingungan menjawabnya. Secara formal saya bukan santri yang pergi jauh dari rumah belajar dan menetap secara khusus di suatu pesantren.
Qodarullah karena di samping rumah ada pesantren milik kerabat maka saya terbawa belajar sehingga menjadi santri 'kalong'. Sebutan santri yang tidak menetap dan berasal dari sekitar pesantren. Umumnya datang mengaji pada waktu sore dan malam. Sedangkan pagi hari mereka belajar di sekolah
Pesantren tempat saya belajar bukanlah pesantren yang sekarang ini lazim ditemukan. Bangunan permanen, megah, tanahnya luas dan jumlah santri ribuan. Bangunan pesantren tersebut bekas rumah yang disulap menjadi pesantren. Karena itu, bangunannya pun tidak luas. Jumlah santri pun hanya puluhan yang berasal dari sekitar désa sekitar dan beberapa dari luar Bogor. Model pesantren seperti ini mudah ditemukan di daérah Bogor pada waktu itu.
Meski santri kalong, Saya mengikuti keseluruhan kegiatan layaknya santri "asli/mukim" hingga tak terasa kurang lebih delapan tahun belajar. Dua tahun belajar membaca Alquran dan enam tahun belajar kitab kuning.
Saya tidak tahu dan tidak pernah merasakan bagaimana belajar di pesantren besar. Namun, belakangan saya mengetahui ternyata apa yang saya pelajari ternyata tidak jauh dengan di pesantren besar dan masyhur untuk tingkat dasar. Jadi ketika ada yang menceritakan pelajaran pesantren, saya masih bisa mengikuti atau minimal nyambung.
Kenapa demikian, karena guru-guru saya pernah belajar di pesantren mashur. Pimpinan pesantren, Allohu yarham KH. syihabuddin alumni pesantren Kananga, salah satu pesantren legendaris di Banten. Paman saya Abah Bibib pernah belajar di pesantren Kyai terkenal di Bogor dan Bandung serta Sastra Arab IAIN Jakarta dan Kyai Aneng Anwar, alumni pesantren dan salah satu santri angkatan awal yangbrajin menelaah kitab dan banyak berinteraksi dengan para Kyai.
Selepas lulus sekolah dan melanjutkan belajar di UNS Solo tanpa disengaja saya terdampar di Pesantren Mahasiswa Binaul Fikri dengan guru utama Ustad Fakhruddin, Lc alumni pesantren Maskumambang, Gresik dan LIPIA Jakarta. Pesantren itu sebenarnya bukanlah pesantren tapi lebih tepat kos-kosan atau rumah sewa yang dikelola oleh para senior yang kuliah di UNS dengan diselipi program pembinaan. Pengajiannya pun hanya dilakukan setelah subuh saja. Lebih menekankan agar mahasiswa yang kuliah pergaulannya lebih terjaga dan terbina.
Setelah setahun kemudian, pesantren mengalami perubahan manajemen dan berganti nama menjadi Al Hilal dengan guru utama Ustad Ahmad Yani. Beliau seorang Hafidz Al Qur'an alumni Pesantren Al Amin, Madura. Meski hanya berjalan dua sampai tiga tahun, Saya pernah merasakan belajar Tahsin Alquran dan sedikit menghafal.
Di akhir semester perkuliahan sambil mengerjakan tugas akhir di semester 9 dan 10, saya mendaftarkan diri belajar bahasa Arab gratis di Ma'had Abu Bakr As-siddiq Universitas Muhammad Surakarta. Lembaga ini bagian dari yayasan AMCF Uni Emirat Arab yang memiliki cabang di berbagai tempat di Indonesia.
Di lembaga ini saya belajar dari para guru alumni LIPIA dan Timur Tengah. Masih ingat ketika belajar dengan Ustad Tamim Aziz Muhammad Saleh, Lc, Ustad Jasiman Solo, Lc, Ust. Soheh Hasan, Lc, Ust. Fauzan, Lc, Ust. Zainuddin, Ust. Yunan Abduh, Lc, Ust Soleh Fauzan. Masih ingat juga Ust Ilyas, Lc. alumni Suriah yang suka bercerita lucu tentang Nasrudin Joha, Tokoh 'Kabayan' dari timur Tengah serta Ustad yang berwibawa Dr. Saiful Islam alumni Deoban India.
Masih ingat juga kebingungan saya ketika dua orang guru dari Negara Sudan mengajar, Ustad Dhau Badalal Karim dan Ustad Abdul Aziz. keduanya mengajar dengan bahasa Arab dialek Sudan. Ibarat belajar bahasa Inggris oleh orang Inggris asli.
Sebenarnya masih ada namun saya agak lupa namanya karena tidak mengajar langsung.
Di tempat itu saya belajar lebih dari satu tahun dan tidak sempat tamat karena orang tua meminta untuk segera pulang kampung karena sudah hampir enam tahun saya tinggal di kota Solo.
Ketika mendapatkan kesempatan kuliah S2 di University of Mysore India tahun 2011, tak sengaja Saya terdampar di asrama mahasiswa muslim yang bernama The New Muslim Hostel selama dua tahun. Secara fisik, asrama ini mirip pesantren besar di Indonésia. Ditengah-tengahnya terdapat mesjid, lapangan olah raga, ruang makan dan perpustakaan. Pengelola asrama adalah yayasan yang dimiliki komunitas muslim. Pimpinan asrama atau Warden adalah seorang pensiunan Professor di universitas tempat saya kuliah.
Asrama tidak memiliki program pendidikan keagamaan secara resmi. Namun demikian, pengelola menunjuk imam mesjid yang kadang bisa menjadi guru bagi para mahasiswa. Terdapat dua Imam yang bertugas waktu itu. Keduanya mahasiswa Pascasarjana di tempat saya kuliah. Kampusnya pun berdekatan. Saya di Jurusan Commerce, mereka di jurusan bahasa Urdu. Keduanya alumi perguruan Islam ternama, India yaitu Deoban. Keduanya hafal Al-Qur'an sehingga setiap Ramadhan secara bergiliran menjadi imam Tarawih di mesjid asrama hingga khatam dalam satu bulan.
Penghuni asrama dan jamaah mesjid dari luar memanggil mereka dengan sebutan Maulana. sebutan kehormatan orang India terhadap orang yang memiliki pemahaman agama yang luas.
Dua Imam yang belum lama lulus dari Deoban ini, Dr Fuzail Akhtar dan Dr Tauseef Khan belum lancar berbahasa Inggris pada waktu itu. Karena itu, mahasiswa asing sering kesulitan berkomunikasi dengan mereka. Akhirnya saya menggunakan bahasa Arab ketika bersama mereka terutama ketika berdiskusi soal ke Islaman. Alhamdulillah karena pernah jadi santri kalong, masih nyambung ketika berdiskusi.
Setelah empat tahun lulus dari India, saya pun tak diduga menjadi santri kembali. Tahun 2017 saya mengikuti seleksi Pendidikan Kader Ulama MUI Kabupaten Bogor. Selama enam bulan Alhamdulillah bisa berinteraksi dengan para santri sungguhan yang berasal dari pesantren-pesantren terkenal di berbagai tempat. Guru-guru yang mengajar pun banyak kyai atau tokoh yang terkenal sehingga menambah wawasan pemikiran dan pergaulan saya.
Sejak dua bulan ini saya menjadi santri online. Saya belajar memperbaiki bacaan Alquran di sebuah lembaga pendidian Alquran. Awalnya tidak berminat namun karena dorongan terus menerus dari istri akhirnya saya mau bergabung. Pendaftarannya pun istri saya yang mengurus. Saya hanya duduk manis belajar saja.
Semoga Allah memberikan ganjaran yang berlipat dan keberkahan ilmu kepada para guru baik nama-namanya yang disebut ataupun yang tidak. Khususnya yang telah Allah panggil lebih awal. Amiin
Selamat Hari santri,
22 Oktober 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar